Selasa, 15 Februari 2011

Manejemen Bencana pada Mental Health

 Indonesia adalah salah satu negara yang cukup rawan terhadap berbagai jenis bencana, misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, kekeringan, berbagai wabah penyakit, dll. Namun demikian belum semua komponen bangsa ini memiliki kesadaran akan hal tersebut. Akibatnya sering ada kesenjangan koordinasi, informasi dan kebijakan antar berbagai sektor pada saat terjadi bencana.
Berdasar pengamatan, penanganan bencana selama ini hanya terfokus pada respon darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam pun juga lebih terfokus pada penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Padahal penanganan bencana yang menyeluruh meliputi sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Penanganan bencana juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus melibatkan peran masyarakat luas. Inilah yang saat ini dikenal sebagai penanganan bencana berbasis masyarakat.
Dalam setiap penanganan bencana, kesehatan merupakan salah satu sektor yang berperan penting. Peran sektor kesehatan tidak hanya dalam fase darurat yaitu memberikan pelayanan kesehatan pada para korban bencana maupun pengungsi, namun semestinya juga berperan dalam fase‐fase penanganan bencana yang lain. Yang sering dilupakan dalam penanganan masalah kesehatan terkait bencana adalah berbagai masalah terkait kondisi psikologi dan kesehatan mental para korban. Selain mengalami luka‐luka fisik, korban bencana seringkali mengalami post traumatic stress disorder.
                Promosi Kesehatan sebenarnya memegang peranan penting dalam manajemen bencana, apalagi trend manajemen bencana sekarang ini ke arah pemberdayaan masyarakat yang merupakan salah satu strategi promosi kesehatan. Namun masalahnya para ahli promosi kesehatan seringkali mengalami kebingungan apa yang harus dikerjakan jika ada bencana? Pada fase apakah seorang ahli promosi kesehatan dapat berperan : pra‐bencana, saat bencana atau pada fase rehabilitasi?
Menurut buku pegangan untuk Manajemen Bencana karangan W. Nick Carter (Carter, W. Nick. Disaster management : a disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991) dibutuhkan siklus manajemen menghadapi bencana untuk tiap negara, yang meliputi : Prevention (pencegahan); Mitigation (mitigasi atau memperkecil efek bencana); Preparedness (kesiap-siagaan); Response (respon atau reaksi cepat); Recovery (perbaikan); Development (pengembangan).

Prevention  (pencegahan).
Mengukur dan memperkirakan bencana apa saja yang akan terjadi. Memang pada dasarnya sangat susah untuk memperkirakan dimana bencana akan menghadang akan tetapi kita bisa (berusaha) mencegah dengan, sebagai contoh : membuat bangunan yang secara konstruksi kuat menahan goncangan, membangun rumah tidak terlalu dekat dengan laut atau setidaknya memperhatikan syarat-syarat standar keamanan pembangunan, pengeboran, dan lain sebagainya.
Mitigation (mitigasi atau usaha memperkecil efek bencana).
Tindakan mitigasi bisa dalam bentuk program yang spesifik. Ini di upayakan agar pada saat kejadian bencana, program ini dapat memperkecil korban jiwa dan kerusakan. Contohnya : membudayakan pelatihan menghadapi bencana yang bisa dimulai dari sekolah-sekolah dan instansi pemerintah.  Selalu memperbaharui standar-standar penanganan bencana, Pelaksanaan kode-kode standar keamanan pada pembangunan fisik, Peringatan dini bencana (early warning), regulasi tata guna lahan, regulasi keamanan bangunan tingkat tinggi dan kontrol terhadap penggunaan bahan-bahan berbahaya. Membentuk sistem perlindungan untuk instalasi kunci, seperti pembangkit listrik dan bangunan telekomunikasi vital.
Preparedness (Kesiap-siagaan).
Dengan adanya standar tanggap bencana yang sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah dan disosialisasikan kepada publik, diharapkan dapat melatih masyarakat, baik sebagai komunitas maupun kelompok selalu siap siaga menghadapi yang terburuk dan agar tidak terjadi kepanikan masal. Karena kepanikan bisa menimbulkan efek yang lebih mematikan daripada bencana itu sendiri. Standar tanggap bencana ini termasuk formulasi tata cara menghadapi bencana (the formulation of viable counter-disaster plans). Kejelasan sumber informasi agar tidak terjadi penyebaran kabar yang diragukan kebenarannya seperti yang terjadi baru-baru ini. Kejelasan inventaris sumber daya dalam menghadapi bencana dan pelatihan personel  tanggap bencana yang diharapkan dapat efektif ketika sebelum dan sesudah bencana terjadi.
Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana bisa dibagi menjadi 3 bagian, antara lain :
-         Warning (peringatan). Ketika suatu daerah mengalami tanda-tanda alam ataupun berita adanya bencana yang mendekat baik oleh BMG maupun dari instansi yang terkait, maka tanda peringatan harus difungsikan semaksimal mungkin. Kentongan, pengeras suara di Masjid-masjid, breaking news di televisi dan radio maupun pesan singkat melalui SMS dapat digunakan untuk memberikan peringatan awal.
-         Threat (ancaman). Ketika gejala dan peringatan sudah dapat dikenali sebagai bencana yang berpotensi berbahaya, maka penduduk diminta untuk bersiap-siap mengungsikan diri dengan dibimbing oleh tenaga yang sudah dilatih dalam manajemen bencana agar tidak terjadi kesimpang-siuran penanganan.
-         Precaution (tindakan pencegahan). Tindakan nyata dilakukan setelah kejelasan berita bencana yang mendekat adalah betul membahayakan, antara lain : menutup perkantoran, sekolah dan tempat-tempat umum berkumpulnya massa; membawa generator atau pembangkit tenaga darurat; mengarahkan ke tempat pengungsian yang sudah dipersiapkan keamanannya; membawa peralatan yang terdiri atas peralatan minimal untuk bertahan hidup seperti persediaan air bersih, tenda dan makanan.
Response (reaksi cepat).
Reaksi cepat biasanya dapat dilakukan sesegera mungkin pada saat maupun setelah bencana menghantam. Dengan adanya personel di dalam masyarakat yang sudah terlatih diharapkan masyarakat secara mandiri dapat melakukan penanganan dini sebelum bantuan datang. Tindakan yang diharapkan adalah menyelamatkan hidup korban dan menjaga harta benda yang masih tersisa. Memperbaiki (minimal) kerusakan yang disebabkan oleh bencana, antara lain dapat berupa; pembersihkan area jalan, agar transportasi dari dan ke lokasi bencana tidak terhambat. Menetapkan lokasi pengungsian, agar bantuan logistik dan pelayan kesehatan bisa terpusat sehingga kinerja penanganan pasca gempa bisa efektif.
Recovery (perbaikan).
Proses perbaikan di utamakan kepada kebutuhan dasar masyarakat korban gempa seperti tempat tinggal, sanitasi dan MCK kemudian dilanjutkan dengan perbaikan infrastruktur yang mendukung percepatan pemulihan sektor ekonomi daerah gempa. Perbaikan dan pemulihan ini dilakukan oleh masyarakat dengan pendampingan dari pemerintah dan lembaga yang berkompeten. Dibutuhkan rencana jangka panjang untuk perbaikan dan pemulihan ini, proses ini bisa bervariasi  antara 5-10 tahun, atau bahkan lebih. Bagian ini termasuk aspek-aspek lain seperti restorasi dan rekonstruksi infrastruktur termasuk pendampingan untuk perbaikan mental korban gempa agar seminim mungkin tidak terjadi gejala putus harapan.
Development ( pengembangan).
Pengembangan dan moderninsasi penanganan gempa harus selalu dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang tidak bisa ditebak wujudnya. Dengan pengembangan yang terus-menerus maka budaya ‘lupa’ bisa dihindari. Budaya ‘lupa’ adalah ancaman terselubung dari penanganan bencana, dengan melupakan kejadian bencana pada masa lalu maka kita juga melupakan hal-hal yang bisa menyelamatkan hidup dan harta pada saat bencana menghantam. Dibutuhkan pengembangan simulasi-simulasi berbagai macam bencana yang mungkin menghantam negara kita agar kita selalu siap dalam menghadapi efek-efek bencana.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah membuat sebuah departemen khusus yang bertugas untuk mempersiapkan dan mematangkan Manajemen Bencana ini. Agar respon Pemerintah (baik daerah maupun pusat) dalam menghadapi ancaman bencana yang selama ini lambat dapat diperbaiki apabila terdapat kejadian lain di masa depan, tanpa harus mengunggu bantuan dari luar negeri.
                Dengan adanya suatu bencana,,  akan sangat berpengaruh pada keadaan mental seseorang. Adapun  stressor-stressor yang ekstrim termasuk dengan terjadinya bencana, dapat menyebabkan hal-hal dibawah ini :
-          Kematian
-          Injury / luka
-          Kehilangan dari segi financial
-          Gangguan mental
-          Setelah terjadinya bencana, akan ada juga kerusakan infrastrukur yang akan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari, dan kerusakan ini akan menjadi pertanyaan banyak orang, akan terjadi sampai kapan?
-          Kehilangan orangtua dan sanak saudara, sehingga membuat korban bencana merasa kesepian dan merupakan factor resiko untuk terjadinya gangguan mental
-          Kehilangan pekerjaan , dll
Adapun fase setelah terjadinya bencana yang dapat menyebabkan terganggunya keadaan mental seseorang adalah :
-          Critical acute
Fase ini terjadi kurang dari 1 bulan setelah terjadinya bencana
-          After critical acte, dan
-          Prolong stressor, biasanya lebih dari waktu 2 tahun setelah terjadinya bencana
Untuk individu yang pernah mengalami trauma, maka akan ada resiko yang dihadapi, diantaranya:
-          Adanya penurunan produktivitas
-          Banyaknya beban pada setiap orang, keluarga, dan komunitas
-          Ada kemungkinan untuk melakukan resiko bunuh diri
                Setelah terjadi bencana, biasanya diadakan evakuasi termasuk adanya ‘pengungsian’, nah dengan adanya pengungsian ini akan terjadi stressor baru apalagi dalam waktu yang cukup lama.
Pada umumnya tim kesehatan yang dikirim untuk para korban bencana kebanyakan lebih mengurusi masalah fisik korban, dan mengabaikan bagaimana sebenarnya untuk menstabilkan keadaan mental para korban setelah terjadi bencana. Hal ini dibuktikan bahwa masih kurangnya tenaga kesehatan mental. Nah dengan adanya hal tersebut, biasanya akan ada recruitment dan TOT untuk para sumber professional dan tenaga kesehatan mental dalam mengatasi gangguan mental/traumatic terkait setelah terjadinya bencana.
Prinsip umum intervensi :
-          Persiapan pre emergency, meliputi :
·         Planning secara detail
·         Koordinasi system dengan sumber local
·         Training
-          Penilaian kondisi local, meliputi aspek cultural dll
-          Adanya kolaborasi
-          Adanya integrasi ke pelayanan dasar, misalnya mengadakan program di puskesmas
-          Pelayanan kesehatan untuk semua
-          Pelatihan kesehatan mental untuk puskesmas dan pemim[in komunitas
-          Long periode perspective
-          Monitoring
Fase kondisi psikososial pada bencana adalah Acute emergency phase.
Adapun yang harus diperhatikan dalam Acute emergency phase adalah:
·         Status emergency
·         Kemanan fisik
·         Informasi untuk menurunkan beban penderitaan
·         Lokasi
Sedangkan untuk kesehatan mental, penanganan utama adalah bertemu dengan ‘primary health center’ untuk:
-          Memanage kasus emergency yang berhubungan dengan psikiatric, contohnya depresi mayor
-          Tersedianya psikofarmaka sebagai terapi awal

2 komentar: