Selasa, 15 Februari 2011

Manejemen Post Traumatic Stress Disorders

Berdasar pengamatan, penanganan bencana selama ini hanya terfokus pada respon darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam pun juga lebih terfokus pada penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Padahal penanganan bencana yang menyeluruh meliputi sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Penanganan bencana juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus melibatkan peran masyarakat luas. Inilah yang saat ini dikenal sebagai penanganan bencana berbasis masyarakat.
Dalam setiap penanganan bencana, kesehatan merupakan salah satu sektor yang berperan penting. Peran sektor kesehatan tidak hanya dalam fase darurat yaitu memberikan pelayanan kesehatan pada para korban bencana maupun pengungsi, namun semestinya juga berperan dalam fase-fase penanganan bencana yang lain. Yang sering dilupakan dalam penanganan masalah kesehatan terkait bencana adalah berbagai masalah terkait kondisi psikologi dan kesehatan mental para korban. Selain mengalami luka-luka fisik, korban bencana seringkali mengalami post traumatic stress disorder.
Nah sekarang apa itu post traumatic stress disorder ituu?? Biar mempermudah kita singkat aja menjadi PTSD .
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan: 1997).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim: 2005d).
Hikmat (2005) mengatakan PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang.

PTSD memiliki 3 kelompok gejala utama, yaitu:
1.       Re-experience phenomena
2.       Avoidance or numbing reaction
3.       Symptoms of increased arousal

Adapun criteria nya adalah :
1.       Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri maupun orang lain.
2.       Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh peristiwa tsb. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau agitasi.
Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
Re-experience Phenomena
1. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi, pikiran ataupun persepsi.
2. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
3. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
4. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
Avoidance or Numbing Phenomena
1. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic.
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
3. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5. Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti kasih sayang.
6. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan, keluarga atau kehidupan jangka panjang.
Symptoms of Increased Arousal
1. Kesulitan tidur.
2. Kemarahan yang tidak terkendali.
3. Kesulitan konsentrasi.
4. Hypervigilance (sangat siaga)
5. Respon yang berlebihan (exaggerated)

Durasi & Efek
Gejala dapat berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan penting lainnya. PTSD dapat muncul bersama gangguan lain seperti kecemasan atau depresi. Disegi lain beberapa klorban tidak memenuhi kriteria PTSD namun sebelumnya memiliki gejala-gejala yang mirip namun terkadang secara alami mereka berangsur pulih
Faktor yg mempengaruhi PTSD :
1. Dimensions of the person
2. Dimensions of the trauma
3. Dimensions of the recovery environment
Dimensions of the person
Hal ini terkait dengan permasalahan kesehatan mental individu sebelumnya, biasa mereka merupakan korban yang utama, kondisi kehidupan sebelumnya, sikap dan keyakinan berkaitan dengan strategi penanganan. Umumnya wanita dan mereka yang berusia setengah baya keatas lebih rentan untuk menderita PTSD.
Dimensions of the trauma
Dimensi ini meliputi lamanya peristiwa tersebut terjadi, apakah ancaman bersifat tunggal atau banyak, dialami sendiri atau melibatkan banyak orang, apakah trauma sering berulang, atau bencana yang terjadi secara berulang.
Dimensions of the recovery environment
Hal ini berkaitan dengan dukungan sosial, stress yang terus menerus, ada tidaknya ritual khusus untuk recovery dan bagaimana sikap masyarakat, kerabat ataupun media terhadap peristiwa yang mereka alami.

PTSD & Trauma
PTSD digambarkan sebagai suatu kelompok simptom namun gagal untuk menjelaskan bagaimana proses trauma dapat terjadi. Ini penting dipahami dalam melakukan terapi. Pengalaman dari sebuah peristiwa traumatik dapat terjadi karena sesuatu yang sangat primitif, global bahkan karena adanya keyakinan positif sebelumnya seperti :
1. Merasa diri tahan banting.
2. Merasa dunia aman, teratur dan dapat diramalkan.
3. Merasa diri sebagai pribadi yang baik.

                Namun, pada saat terjadi bencana mereka mengalami suatu goncangan yang luar biasa. Kebanyakan sikap yang muncul adalah negatif. Orang merasa secara sosial tidak diterima, merasa merepotkan orang lain, memperlihatkan kelemahan atau merasa dirinya gila dan kehilangan kendali.
Jika korban melihat dunia dan lingkungannya sebagai sesuatu yang mengkuatirkan dan tidak dapat diramalkan, tindakan yang disertai perasaan negatif tidak akan berguna dan kemudian seseorang mungkin tidak percaya bahwa kasusnya dapat ditangani.
                Suatu jaringan memori traumatik kemungkinan terbentuk dan disertai oleh imajinasi yang negatif. Bayangan imajinatif tentang suatu subyek yang kemudian mereka nilai secara negatif, hal ini dapat menimbulkan ingatan tentang peristiwa yang tidak mengenakan. Pada kondisi ini terjadi suatu proses rekognisi, dapat bersifat otomatis atau dilakukan secara sadar.
                Pendekatan teori psikologis tentang krisis biasanya akan meramalkan dan memperkirakan tindakan penanganan. Dalam beberapa hal penanganan dihadapkan pada imajinasi yang mengganggu proses psikologi yang efektif. Hal ini dapat berupa ingatan traumatik yang akan menstimuli proses resolusi. Meskipun demikian ada suatu titik transisi pada suatu kondisi kepribadian awal, termasuk cara-cara penanganan yang tradisional. Untuk beberapa hal lainnya tindakan penanganan berkaitan dengan upaya untuk menghindari imajinasi traumatik atau pemicu masalahnya. Saat individu berhasil mengatasi masalahnya dengan cara menghindari imajinasi tersebut. Pendekatan ini sebenarnya memerlukan banyak upaya emosional yang dikerahkan untuk mengatasi hal tersebut.

Intervensi Krisis Paska Trauma
                Studi mengenai intervensi krisis mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa jika prinsip tersebut dilakukan orang-orang akan dapat kembali berfungsi normal secara cepat dan mengurangi kecenderungan berkembangnya masalah dalam waktu lama.
                Debriefing psikologis adalah suatu alat yang kelihatannya lebih populer. Hal itu bukan berarti akan menghilangkan sama sekali PSTD, tetapi lebih kearah suatu perangkat untuk melakukan recovery. Ini bukan suatu terapi yang bersifat mandiri tetapi suatu model penyelidikan sendiri (heuristic) dimana individu akan mampu untuk membangun suatu rancangan pengalamannya, suatu kejadian yang diperkirakan dan mampu dikendalikan dan pada akhirnya membuat mereka lebih percaya diri. Ini merupakan prosedur kognitif yang lebih memfokuskan pada pikiran daripada memfokuskan pada stimulasi perasaan dan emosi.
                Debriefing umumnya dilakukan dalam kelompok (bisa juga secara individual meskipun tidak sebaik jika dilakukan didalam kelompok), peserta sekitar 15 orang. Waktu ideal pelaksanaan antara 48-72 jam setelah peristiwa traumatik terjadi dan kemudian setelah 3 minggu dilihat apakah masih ada individu yang memerlkukan bantuan secara lebih khusus.
Tujuan debriefing adalah :
1. Merupakan ventilasi impresi, reaksi dan perasaan.
2. Mendorong pengorganisasian kognitif melalui pemahaman yang jernih terhadap peritiwa dan reaksi yang muncul.
3. Mengurangi kesan kekhasan dan abnormalitas reaksi, meningkatkan kesan sesuatu yang normal melalui sharing.
4. Memobilisasi sumber daya didalam dan diluar kelompok , meningkatkan dukungan kelompok, solidaritas dan kohesivitas.
5. Mempersiapkan suatu tindakan yang lebih terkendali dalam merepon peristiwa traumatik yang terjadi.
6. Mengidentifikasi kemungkinan tindakan bantuan profesional lebih lanjut.

Dalam prakteknya debriefing memiliki empat fase identifikasi yaitu :
1. Introduction
2. Narrative
3. Reactions
4. Education
                Introduction merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan agenda yang akan dilakukan dan menetapkan aturan main yang berlaku.
                Narrative adalah menceritakan pengalaman individu kepada anggota kelompok, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi, ini merupakan tahap pertama dari pengorganisasian kognitif.
                Reactions merupakan suatu struktur kronologis yg simpel yg memungkinkan gejala ditransformasikan kedalam bentuk pola umum reaksi baik pikiran maupun emosi. Tahap-tahap reaksi tsb adalah sbb :
1. Reaksi selama insiden terjadi.
2. Reaksi segera setelah peristiwa terjadi.
3. Reaksi awal dari keluarga atau figur yg signifikan.
4. Secara pada hari berikutnya
5. Reaksi pada hari berikutnya dan pada hari-hari tertentu.
Education
                Gambaran reaksi simptom PTSD dapat diperkuat penjelasannya melalui literatur. Ini akan membantu penderita untuk melihat permasalahannya secara lebih jelas dan objektif. Hal ini disertai pula dengan membuat perencanaan kedepan untuk membentuk respon dan penghayatan yang lebih baik. Tindak lanjut biasanya dilakukan dengan struktur yang lebih minim, dilengkapi dengan upaya untuk mencatat recovery dan mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.
                Sangat sedikit penelitian mengenai efektivitas debriefing. Beberapa studi menunjukkan tidak ada dampak tertentu, sedangkan beberapa yang lainnya menunjukkan efek yang positif. Untuk itu agar debriefing efektif maka perlu diperhatikan hal-hal sbb :
1. Debriefing harus dilaksanakan sebagai bagian dari program intervensi krisis yang menyeluruh dan harus disertai dengan tindak lanjut.
2. Debriefing harus dilakukan secara cermat dan membutuhkan partisipasi penuh dari anggota kelompok.
3. Harus dipandu oleh ahli yang berpengalaman yang memfokuskan pada aspek kognisi dan edukasi.
4. Jangan dilakukan terlalu awal tetapi paling cepat 48 jam setelah peristiwa terjadi.
5. Dilakukan setidaknya selama 90 menit.
6. Dilihat sebagai suatu bagian dari proses assessment untuk mengidentifikasi individu yang memiliki
resiko tinggi dan perlu penanganan individual yg lebih spesifik.
                Pada situasi dimana peristiwa traumatik terjadi dan ditangani misalnya dengan pertolongan darurat tindakan peredaan stress perlu dilakukan sebagai suatu upaya preventif. Hal ini meliputi penjelasan mengenai efek dan simptom dari trauma dan belajar strategi seperti relaksasi maupun bersikap secara positif.

Terapi terhadap Trauma & PTSD
1.       Non-specific effects :
· Klien memutuskan untuk mengikuti terapi dengan komitmen.
· Kualitas dari relasi terapis ditentukan oleh sikap yang sesuai dan memahami pengalaman klien, adanya rasa percaya, kompeten dan memiliki kepedulian.
2. Menggunakan keterampilan assessment untuk memutuskan tindakan terapi yang tepat.
3. Technique-specific effects :
· Menggunakan eksposure yg panjang (pembukaan/introduksi)
· Menggunakan tehnik restrukturisasi kognitif.
· Menggunakan tehnik training inoculation stress termasuk edukasi.
· Menggunakan tehnik tambahan seperti medication atau Eye Movement Desensitization &
Reprocessing (EMDR). Prosedur terakhir adalah tehnik kognitif untuk melawan memori thd peristiwa traumatik melalui rapid eye movement.

Prolonged Exposure
                Kegiatan ini berupa pengungkapan peristiwa kembali dengan melibatkan korban atau klien dalam beberapa sesi. Mengekspos peristiwanya kembali dengan cara menghindari reaksi yang tidak terkendali. Hal ini dapat dilakukan dalam waktu 8-10 sesi. Eksposur perilaku pada situasi yang menakutkan dapat juga digunakan. Kontra indikasi meliputi penyalahgunaan alkohol/drug dan depresi.         Saat terapi eksposur merupakan pilihan pertama klien yang mengalami re-experiencing (atau menghindarinya) dan ini merupakan isu besar yang dapat mengarahkan perubahan kognitif, namun hal ini bisa jadi bukanlah terapi yang memadai.

Terapi Kognitif
                Selama terapi eksposur berlangsung, terapis harus hadir secara intens untuk menyimak pernyataan dan ekspresi dari korban atau klien terutama terhadap cara berpikir mereka yang menyimpang. Terapis fokus pada pengembangan narasi, pikiran yang bekerja kembali dan penggambaran peristiwa dan reaksi.
                Pada tahap awal treatment kognitif difokuskan pada edukasi, memberikan klien suatu pemahaman akan rentang reaksi dan gejala (suatu kerangka yang menempatkan reaksi mereka); dan memunculkan suatu model untuk memahami reaksi paska trauma (dimana metode treatment dapat dibenarkan). Kondisi ini juga dapat memunculkan alternatif narasi.
                Pikiran dan keyakinan otomatis yang bersifat negatif harus digali secara aktif. Pikiran dan keyakinanl ini perlu domonitor lebih lanjut oleh terapis.
                Selanjutnya perlu dilakukan tehnik training inculation stress dan menggunakan tehnik pertanyaan ala Socrates, alternatif self-statement dan perilaku yang dapat dihasilkan. Hal ini dapat dilatih sebelum terapi sesungguhnya dilaksanakan.
                Terapi kognitif dapat berlangsung dalam kelompok untuk lebih menghemat biaya dan waktu. Delapan jam terapi (4 sesi atau lebih) lebih efektif, tetapi terapi yang lebih lama dapat saja dilakukan jika memang dibutuhkan.
                Tehnik yang lebih spesifik seperti EMDR dapat pula digunakan. Drugs dalam kondisi darurat dapat digunakan untuk menjaga individu tetap tenang, seperti blockers yang bermanfaat untuk fase awal. Dapat pula digunakan anti-depresan untuk membantu mengatasi munculnya reaksi negatif.

Coda-Counselling & Post-Traumatic Stress
                Jika pendekatan debriefing dilakukan disesi awal, konseling apapun dalam post-traumatic stress seharusnya meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Mereview detail peristiwa, mengkonstruksi eksposur yang tepat untuk ditunjukkan.
2. Edukasi
3. Menggunakan tehnik kognitif untuk merestrukturisasi kekeliruan keyakinan dan proses berpikir.
                Untuk menjalankan seluruh kegiatan diatas harus dilakukan oleh seorang ahli yang memiliki latar belakang psikologi atau minimal mereka yang telah dibekali oleh orang-orang yang berkompeten.
Penanganan korban paska bencana sebaiknya tidak hanya terbatas pada pertolongan medis yang memang secara fisik sangat terlihat. Disamping upaya medis diperlukan pula penangan secara sosial, kultural, spiritual dan tentunya pendekatan psikologis yang utamanya memfokuskan penanganan terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar