Senin, 14 Februari 2011

Sistem Pembiayaan dan Standar Pelayanan Kesehatan


Mengapa perlu adanya studi pembiayaan kesehatan? Dimulai dari pertentangan akan kesehatan itu barang public atau kesehatan. Dimana kebutuhannya besar tapi penyedia jasa layanannya  terbatas. Kesehatan merupakan investasi di masa depan dan mempengaruhi perekonomian. Misal kepala keluarga yang sakit, maka perekonomian keluarga akan rusak.
Kesehatan merupakan barang mahal yang terbatas dengan dana yang terbatas. Maka dari itu diperlukan kombinasi dari berbagai macam sumber dana.
Sumber dana kesehatan biasanya berasal dari pemerintah atau swasta.
}  Pemerintah:
       Dana Pemerintah Pusat
       Dana Pemerintah Propinsi
       Dana Pemerintah Kabupaten Kota
       Saham Pemerintah dalan BUMN
       Premi bagi jaminan kesehatan masyar akat miskin, yang dibayarkan oleh pemerintah
}  Swasta dan Masyarakat
       CSR (Corporate Social Responsibility)
       Pengeluaran Rumah Tangga, baik yang dibayarkan tunai atau melalui sistem Asuransi
       Bantuan dari Luar Negeri
       Hibah dan Donor dari LSM
Mulai dari sumber dana yang berasal dari pemerintah/swasta kemudian dikelola oleh agen pembiayaan. Baru kemudian digunakan oleh provider kesehatan untuk dilaksanakan sesuai dengan fungsi kesehatanannya.
Ada lagi sumber pendanaan kesehatan berdasarkan ideology suatu Negara.
a.       Sosialis dan welfare state : dibiayai penuh oleh pemerintah, not for profit, dan untuk publik
b.      Liberalis-kapitalis : harga diserahkan pada mekanisme pasar, profit oriented dan fully private
c.       Kombinasi : kombinasi keduanya, system asuransi social dan public private mixed
Alas an kita harus mempelajari manajemen pembiayaan kesehatan :
a.       Karena input sumber daya yang terbatas dihadapkan dengan kebutuhan yang tidak terbatas.
b.      Proses manajemen akan mengefisiensi penggunaan sumber daya dan pemilihan program kesehatan akan efektif
c.       Sehingga outcome dan output akan menciptakan budgeting policy and Health Financing System serta status derajat kesehatan.
   
       DRG’s (Diagnosis Related Group) atau sistem pembiayaan kelompok diagnosa terkait adalah suatu sistem/cara pembayaran kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (health provider) untuk pelayanan yang diselenggarakannya tanpa memperhatikan jumlah tindakan atau pelayanan yang diberikan, melainkan pengelompokan pelayanan medis kedalam suatu besaran pembiayaan menurut kelompok penyakit dimana pasien yang sedang ditangani tersebut berada.
                Manfaat DRG’s adalah sistem dan beban administrasi pihak penanggung biaya dan provider lebih sederhana, tidak perlu lagi secara rinci memperhitungkan biaya pelayanan, pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien karena mampu mengendalikan biaya pelayanan kesehatan, DRG’s dapat memberikan kepastian biaya rumah sakit dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. DRG’s dapat mengurangi: biaya rumah sakit, intensitas pelayanan yang diberikan, lama hari rawat, dan menghasilkan produk yang efisien.
                DRG’s pertama kali dikenal di Amerika serikat, diterapkan di Rumah sakit Negara bagian New Jersey pada tahun 1970 sebagai dasar perhitungan biaya rawat inap oleh rumah sakit dan asuransi. DRG telah dipakai sejak tahun 1983 untuk menentukan seberapa besar medicare membayar kepada rumah sakit.
                Pengelompokkan DRG’s saat ini di dasarkan pada ICD X, ICD X adalah suatu system kategori yang mengelompokan satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati. Tujuan pemakaian ICD untuk membuat catatan sistematik dan dapat dianalisis, untuk menterjemahkan diagnosa penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi kode/sandi alfanumerik sehingga mudah disimpan, dicari, dianalisis. Ciri ICD X koding alfanumerik, 1 huruf diikuti 3 angka untuk tingkatan 4 karakter.
                Sejak tahun 1981 berkembang generasi kedua berdasarkan ICD 9 CM yang terdiri dari 23 MDC (Major Diagnostic Categories) dengan 467 DRG’s. Dalam perkembangan selanjutnya pada bulan April 1994 muncul Australian National DRG’s dengan 23 MDC dan 956 DRG’s. Pada tahun 1995 Australia mengumumkan perubahan DRG’s yang mengacu kepada ICD X, yaitu AR DRG versi 4.1 dengan 20 perubahan kode klinik dan klasifikasi keompok pada beberapa MDC Tahun 1998 Australian Refined DRG ( AR-DRG) clasification versi 4.1 dengan 23 MDC dan 661 DRG’s oleh commonwealth departemen of health dan aged care of Australia.
                Komponen-komponen biaya dalam menyusun DRG’s adalah lama hari rawat inap untuk masing-masing DRG’s baik untuk perawatan rutin dan khusus, biaya perdiem baik untuk perawatan rutin maupun khusus, perkiraan biaya, pelayanan-pelayanan pendukung (laboratorium, radiologi, obat-obatan, alat habis pakai, anastesi, dan pelayanan lainnya perkasus). Data yang dipakai adalah diagnosa DRG’s dibuat keadaan saat pasien keluar RS.
                Dalam menentukan DRG’s langkah-langkah yang dilakukan adalah menegakan diagnosa utama (lihat medical record) dan tentukan MDC berdasarkan diagnosa utama oleh dokter atau bidan,berdasakan ICD X ada saat pasien pulang, lihat tindakan yang dilakukan, dan evaluasi apakah dilakukan tindakan yang signifikan (operasi atau tindakan medis), umur pasien, Diagnosa sekunder (bila ada), Lama hari rawat, utilisasi (identifikasi kelas perawatan, tindakan medis, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, alkes, dan jasa medis paramedik).
                Sebelum menentukan DRG harus ditetapkan clinicval pathway yang merupakan cikal bakal costing atau casemix, yaitu: Identifikasi intervensi/aktivitas berdasarkan Standard Operating Procedure/Clinical Guidelines, baik sifat maupun jumlah pemakaian resources-nya mulai dari penerimaan sampai pasien pulang. Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit clinical pathway merupakan rencana multidisiplin yang memerlukan praktik kolaborasi dengan pendekatan team, melalui kegiatan day to day, berfokus pada pasien dengan kegiatan yang sistematik memasukan standar outcome.
                Kasus yang diutamakan untuk clinical pathway adalah kasus yang sering ditemui, kasus yang terbanyak, biaya tinggi, perjalanan penyakit dan hasilnya dapat diperkirakan. Untuk membuat clinical pathway telah tersedia Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur Operasional.

Standar Pelayanan Medik dan DRG
                Melalui Surat Keputusan Menkes No.595/Menkes/SK/VII/1993 telah ditetapkan bahwa setiap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medis harus sesuai dengan kebutuhan dan standar pelayanan yang berlaku. Dengan adanya standar medik ini diharapkan seluruh rumah sakit pemerintah maupun swasta dari semua tingkatan kelas harus dapat menerapkan standar ini agar rumah sakit tersebut dapat menjaga mutu dan menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien. Berkaitan juga dengan upaya pemerintah untuk menerapkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sesuai dengan UU Kesehatan nomor 23 thn 1992 pasal 66, standar pelayanan medis sudah menjadi keharusan untuk ditetapkan dan diterapkan di seluruh rumah sakit. Hal ini sebagai antisipasi terhadap berlakunya Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992, pasal 32 ayat 4, Standar pelayanan medik telah ditetapkan berdasarkan SK Menkes, yang merupakan tonggak utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medik di Indonesia. Standar ini mengatur tentang penatalaksanaan penderita di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat memenuhi mutu yang dapat dipertanggungjawabkan.
                Masalah mutu pelayanan akhir-akhir ini semakin sering menjadi sorotan, dan sebagian besar dokter pasti sudah berusaha untuk melakukan hal yang terbaik untuk pasien, tetapi selama ini belum ada standar yang dijadikan pedoman untuk dokter maupun penerima jasa pelayanan dalam menilai mutu layanan. Standar pelayanan medik juga dapat menjadi pengukur efisiensi penggunaan sumber daya, baik tenaga, ilmu dan teknologi, sarana dan biaya untuk menyembuhkan pasien dari penyakitnya.
                Penerapan standar pelayanan medik harus dilakukan bertahap, mengingat kondisi dan kapasitas kemampuan rumah sakit bervariasi bila ditinjau dari segi fisik konstruksi, peralatan, sumber daya manusia, pembiayaan dan sejarah perkembangan.
                Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan Dokter Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi di Indonesia yang mendapatkan masukan dari perkumpulan dokter seminat, yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Kandungan standar pelayanan medis terdiri dari standar penatalaksanaan 100 jenis penyakit dari 12 spesialis dan standar pelayanan penunjang dari 3 spesialis.
                Standar yang telah disusun tidak mencakup semua diagnosis penyakit yang diketahui ilmu kedokternnya, tetapi dipilih berdasarkan Kessner, dalam tulisannya di New England Journal of Medicine tahun 1973, tentang petunjuk dalam memilih diagnosis yang perlu disususun standarnya, yaitu:
1. Penyakit tersebut mempunyai dampak fungsional yang besar,
2. Merupakan penyakit yang jelas batas-batasnya, dan relatif mudah untuK
mendiagnosisnya,
3. Prevalensinya cukup tinggi dalam praktek,
4. perjalanan penyakitnya dapat secara nyata dipengaruhi oleh tindakan medis yang
ada,
5. Pengelolaannya dapat ditetapkan dengan jelas,
6. Faktor non-medis yang mempengaruhinya sudah diketahui.
                Standar pelayanan medik itu kurang lengkap dan tidak spesifik terhadap kepastian obat-obatan, alat kesehatan, bahan habis pakai yang digunakan, dan belum sesuai dengan Case Studi: Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan DRG ICD X, sehingga sulit menerapkan bahan tersebut sebagai masukan dalam pembuatan DRG.
                Penyusunan standar pelayanan medis juga tidak berdasarkan clinical pathway, sehingga sulit untuk menjadikannya sebagai dasar penyusunan DRG. Tetapi karena belum ada standar pelayanan medik yang lebih rinci yang diterbitkan oleh perkumpulan dokter spesialis tertentu maka dalam penyusunan DRG, standar pelayanan medis dapat dijadikan dasar bagi penatalaksanaan pasien, organisasi profesi harus mengembangkan standar berdasarkan clinical pathway, dan unit cost sehingga dapat diketahui tarif untuk setiap pengelompokan diagnosa dan tindakan medis.
                Rumah sakit di Indonesia juga belum seluruhnya telah melakukan perhitungan unit cost per diagnosa penyakit. Yang banyak dilakukan adalah menghitung unit cost untuk sebuah tindakan medis, menentukan tarif, semua itu belum semua dicatat dengan baik oleh rumah sakit. Kelemahan data inilah menjadi salah satu kendala dalam perhitungan unit cost. Semua rumah sakit sudah harus mulai menyesuaikan dan melakukan rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam penerapan standar pelayanan medik ini, terutama bila akan menerapkan Diagnostic Related Group dalam sistem pembayaran.
                Di Indonesia terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perlunya DRG antara lain,
yaitu:
·         Tingginya biaya pelayanan kesehatan karena belum adanya standar biaya.
·         Belum terdapat tata cara pengelompokkan penyakit berdasarkan biaya.
·         Belum terdapat cara perhitungan biaya pelayanan kesehatan berdasarkan pengelompokan diagnosis.
                Pembayaran pra-upaya yang dilakukan PT Askes ialah sistem DRG, walaupun masih terbatas untuk hemodialisa, operasi jantung terbuka, dan transplantasi ginjal. Awalnya DRG merupakan sistem untuk membantu manajemen dalam mengukur dan mengevaluasi kinerja rumah sakit. Tetapi karena kemajuan teknologi kedokteran dan peningkatan biaya pelayanan kesehatan maka untuk pengendalian biaya (cost containment) dipakai sistem DRG yang sangat berbeda dengan sistem sebelumnya. Dahulu fokus utama pelayanan RS pada final product RS yang merupakan kumpulan biaya alat kesehatan, obat,laboratorium, dan biaya yang diterima pasien dengan penyakit tertentu. Hal ini berbeda dengan DRG yang biaya pelayanan itu hanya terbatas pada pelayanan yang diterima saja dan tidak melihat jenis penyakitnya.

Standar Pelayanan Minimal Dan DRG
                Berdasarkan keputusan Menkes dan Menkessos No.228/Menkes/SK/III/2002, tentang Standar Pelayanan Minimal, maka di Indonesia sudah ada SPM untuk pelayanan kesehatan masyarakat, yang mirip dengan indikator pencapaian progam kesehatan masyarakat. SPM kesmas ini wajib dilaksanakan di setiap daerah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
                Sangat disayangkan, SPM dalam bidang pelayanan kesehatan, khususnya teknis medis belum
ada di Indonesia. SPM khusus pelayanan medis seyogyanya disusun oleh organisasi profesi atau kolegium seperti IDI,PDGI, IDAI, POGI, dan organisasi profesi lainnya, tetapi di Indonesia standar pelayanan minimal belum dibuat.
                Dalam rangka perubahan bentuk hukum rumah sakit di Indonesia dari swadana menjadi Badan Layanan Umum (BLU), yang terdapat persyaratan administrasi harus menyusun standar pelayanan minimal, kemudian bila setiap daerah mempunyai SPM masingmasing, maka bila dikaitkan dengan DRG yang sama dan seragam untuk seluruh Indonesia akan sulit dilakukan.
                Pihak terkait yang mempunyai otoritas yang paling tinggi dalam membuat kebijakan, dalam hal ini Departemen Kesehatan seharusnya sudah mengantisipasi, dan dapat membaca tren perumahsakitan di dunia atau Indonesia, bahwa beberapa propinsi di Indonesia akan menerapkan unit pelaksana teknis daerah, seperti rumah sakit umum daerah menjadi BLU. Penyusunan SPM bidang medis hendaknya sudah dilakukan oleh kolegium dengan himbauan dan pengawasan dari depkes.

DRG Reformasi Mikroekonomi di Industri Layanan Kesehatan
                Rumah sakit menghadapi masalah peningkatan biaya operasional, terbatasnya sumber daya, tuntutan peningkatan pelayanan kesehatan, resiko kesalahan medis (medical error). DRG merupakan sistem pembayaran yang lebih advance yang direkomendasi setelah studi costing yang dilakukan di rumah sakit.
                Untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat, DRG dapat menyediakan informasi yang akurat tentang biaya kesehatan yang dibutuhkan per penyakit sejenis (per unit cost) dan perbandingan di antara layanan yang diberikan, baik di tingkat lokal maupun internasional.
                Dalam aspek pembiayaan DRG dapat digunakan sebagai basis dalam persamaan persepsi, alat ukur dalam penetapan kerjasama biaya pelayanan kesehatan dengan pihak ketiga (health insurance publik/private), dan petunjuk dalam sistem pembiayaan yang baru disektor industry layanan kesehatan.
                Ditinjau dari segi pemeliharaan kesehatan, DRG dapat dipakai sebagai alat ukur dari hospital output, basis dalam negosiasi biaya dengan pasien dan pihak ketiga, serta dapat dipergunakan untuk membandingkan biaya yang harus dibayar dengan tindakan medis yang diberikan.
                Khusus dalam bidang mutu pelayanan kesehatan, DRG dapat membantu meningkatkan mutu melalui penyediaan informasi tentang jenis perawatan yang diberikan kepada pasien, data perbandingan rerata lama hari rawat per penyakit sejenis, dan struktur biaya pelayanan kesehatan dari berbagai jenis perawatan per pasien dengan diagnosis sejenis bagi para tenaga medis/penyedia pelayanan kesehatan.

Kesiapan Indonesia Menerapkan Sistem DRG
                Departemen Kesehatan (Depkes) melakukan uji coba Diagnostic Related Group (DRG) di 15 rumah sakit pemerintah/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Depkes mulai tahun 2006. Uji coba itu dilaksanakan bekerja sama dengan Universitas Kebangsaan Malaysia. Bila uji coba ini berhasil, maka sistem DRG akan dilaksanakan di seluruh rumah sakit pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di berbagai negara yang sudah melaksanakan system ini, sudah terbukti DRG menekan biaya pengobatan.      Di berbagai negara sistem DRG meningkatkan efisiensi. Dengan sistem ini biaya pengobatan bisa ditekan sampai 40 persen. Sedangkan pengalaman di Malaysia, ujarnya, penerapan DRG di rumah sakit pemerintah bisa menghemat biaya pengobatan berkisar 15 persen sampai 20 persen. Efisiensi terjadi karena biaya pengobatan berdasarkan standar prosedur sehingga tindakan medis yang dilakukan tidak berlebihan.
                Bila DRG diterapkan ada beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain perlu dipastikan adalah apakah jasa medik dokter yang notabene termasuk komponen biaya yang besar harus dimasukan dalam DRG, mengingat di setiap rumah sakit jasa medis dokter berbeda-beda, belum lagi antar rumah sakit pemerintah dan swasta. Di Indonesia terdapat kesepakatan yang sudah mendarah daging bahwa besarnya jasa medis mengikuti tingkatan jenis kamar perawatan yang dipilih pasien. Tentu ini merupakan suatu keanehan, karena bukankah untuk sebuah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter untuk pasien di kelas VIP dan kelas III adalah sama, keharusan meng-visite pasien setiap hari juga sudah menjadi duty of care dari seorang dokter, sehingga seharusnya jasa medis untuk sebuah tindakan medis
tertentu harus sama, dalam DRG harus ditetapkan komponen apa saja yang termasuk tarif dari sebuah diagnosa penyakit. DRG harus sama, tarif rumah sakit hanya berbeda untuk jenis kamar perawatan yang dipilih, masuk akal karena tentu saja kenyamanan, fasilitas ruangan yang lebih lengkap, jam besuk yang fleksibel, dan dapat bebas memilih dokter sesuai keinginan.
                Sekarang sedang dirintis sistem DRG (Diagnostic Related Group) yaitu suatu pola pentarifan yang dikaitkan dengan pengelompokan jenis penyakit dengan segala tindakannya. Dengan sistem ini, tarif rumah sakit akan terstandarisasi. Walaupun diakui pasti ada perbedaan tarif antara daerah-daerah dengan rumah sakit pusat rujukan, tetapi sistemnya sudah terstandar.
                Paling tidak perubahan biaya (tarif rumah sakit) disebabkan inflasi selama ini PT Askes berkejar-kejaran dalam besar tarif. Akibatnya, ada tarif rumah sakit yang lebih tinggi dari tariff PT Askes, dan sebaliknya ada tarif PT Askes yang lebih tinggi dari tarif rumah sakit, dengan DRG akan lebih mudah kenyataannya walaupun tarif rumah sakit peserta PT Askes ditetapkan dengan SK Menteri Kesehatan sebagai plafon, PT Askes masih harus membicarakan tariff dengan pihak rumah sakit. Sekarang ini tarif yang dibayar seolah-olah bukan tarif yang riil.
                Menurut Menkes RI pada acara yang sama, untuk menanggulangi keterbatasan biaya di rumah sakit, kata Menkes, PT Askes yang ditunjuk sebagai penyelenggara program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin, telah memberikan uang muka kepada tiap-tiap rumah sakit yang mempunyai ikatan kerja sama dengan PT Askes.
                Rumah sakit di Indonesia juga belum seluruhnya telah melakukan perhitungan unit cost per diagnosa penyakit. Yang banyak dilakukan adalah menghitung unit cost untuk sebuah tinadakan medis, menentukan tarif, semua itu belum semua dicatat dengan baik oleh rumah sakit. Kelemahan data inilah menjadi salah satu kendala dalam perhitungan unit cost.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar