Selasa, 15 Februari 2011

Manejemen Bencana pada Mental Health

 Indonesia adalah salah satu negara yang cukup rawan terhadap berbagai jenis bencana, misalnya gempa bumi, tsunami, gunung meletus, banjir, longsor, kekeringan, berbagai wabah penyakit, dll. Namun demikian belum semua komponen bangsa ini memiliki kesadaran akan hal tersebut. Akibatnya sering ada kesenjangan koordinasi, informasi dan kebijakan antar berbagai sektor pada saat terjadi bencana.
Berdasar pengamatan, penanganan bencana selama ini hanya terfokus pada respon darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam pun juga lebih terfokus pada penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Padahal penanganan bencana yang menyeluruh meliputi sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Penanganan bencana juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus melibatkan peran masyarakat luas. Inilah yang saat ini dikenal sebagai penanganan bencana berbasis masyarakat.
Dalam setiap penanganan bencana, kesehatan merupakan salah satu sektor yang berperan penting. Peran sektor kesehatan tidak hanya dalam fase darurat yaitu memberikan pelayanan kesehatan pada para korban bencana maupun pengungsi, namun semestinya juga berperan dalam fase‐fase penanganan bencana yang lain. Yang sering dilupakan dalam penanganan masalah kesehatan terkait bencana adalah berbagai masalah terkait kondisi psikologi dan kesehatan mental para korban. Selain mengalami luka‐luka fisik, korban bencana seringkali mengalami post traumatic stress disorder.
                Promosi Kesehatan sebenarnya memegang peranan penting dalam manajemen bencana, apalagi trend manajemen bencana sekarang ini ke arah pemberdayaan masyarakat yang merupakan salah satu strategi promosi kesehatan. Namun masalahnya para ahli promosi kesehatan seringkali mengalami kebingungan apa yang harus dikerjakan jika ada bencana? Pada fase apakah seorang ahli promosi kesehatan dapat berperan : pra‐bencana, saat bencana atau pada fase rehabilitasi?
Menurut buku pegangan untuk Manajemen Bencana karangan W. Nick Carter (Carter, W. Nick. Disaster management : a disaster manager’s handbook. Asian Development Bank, 1991) dibutuhkan siklus manajemen menghadapi bencana untuk tiap negara, yang meliputi : Prevention (pencegahan); Mitigation (mitigasi atau memperkecil efek bencana); Preparedness (kesiap-siagaan); Response (respon atau reaksi cepat); Recovery (perbaikan); Development (pengembangan).

Prevention  (pencegahan).
Mengukur dan memperkirakan bencana apa saja yang akan terjadi. Memang pada dasarnya sangat susah untuk memperkirakan dimana bencana akan menghadang akan tetapi kita bisa (berusaha) mencegah dengan, sebagai contoh : membuat bangunan yang secara konstruksi kuat menahan goncangan, membangun rumah tidak terlalu dekat dengan laut atau setidaknya memperhatikan syarat-syarat standar keamanan pembangunan, pengeboran, dan lain sebagainya.
Mitigation (mitigasi atau usaha memperkecil efek bencana).
Tindakan mitigasi bisa dalam bentuk program yang spesifik. Ini di upayakan agar pada saat kejadian bencana, program ini dapat memperkecil korban jiwa dan kerusakan. Contohnya : membudayakan pelatihan menghadapi bencana yang bisa dimulai dari sekolah-sekolah dan instansi pemerintah.  Selalu memperbaharui standar-standar penanganan bencana, Pelaksanaan kode-kode standar keamanan pada pembangunan fisik, Peringatan dini bencana (early warning), regulasi tata guna lahan, regulasi keamanan bangunan tingkat tinggi dan kontrol terhadap penggunaan bahan-bahan berbahaya. Membentuk sistem perlindungan untuk instalasi kunci, seperti pembangkit listrik dan bangunan telekomunikasi vital.
Preparedness (Kesiap-siagaan).
Dengan adanya standar tanggap bencana yang sebaiknya ditetapkan oleh pemerintah dan disosialisasikan kepada publik, diharapkan dapat melatih masyarakat, baik sebagai komunitas maupun kelompok selalu siap siaga menghadapi yang terburuk dan agar tidak terjadi kepanikan masal. Karena kepanikan bisa menimbulkan efek yang lebih mematikan daripada bencana itu sendiri. Standar tanggap bencana ini termasuk formulasi tata cara menghadapi bencana (the formulation of viable counter-disaster plans). Kejelasan sumber informasi agar tidak terjadi penyebaran kabar yang diragukan kebenarannya seperti yang terjadi baru-baru ini. Kejelasan inventaris sumber daya dalam menghadapi bencana dan pelatihan personel  tanggap bencana yang diharapkan dapat efektif ketika sebelum dan sesudah bencana terjadi.
Kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana bisa dibagi menjadi 3 bagian, antara lain :
-         Warning (peringatan). Ketika suatu daerah mengalami tanda-tanda alam ataupun berita adanya bencana yang mendekat baik oleh BMG maupun dari instansi yang terkait, maka tanda peringatan harus difungsikan semaksimal mungkin. Kentongan, pengeras suara di Masjid-masjid, breaking news di televisi dan radio maupun pesan singkat melalui SMS dapat digunakan untuk memberikan peringatan awal.
-         Threat (ancaman). Ketika gejala dan peringatan sudah dapat dikenali sebagai bencana yang berpotensi berbahaya, maka penduduk diminta untuk bersiap-siap mengungsikan diri dengan dibimbing oleh tenaga yang sudah dilatih dalam manajemen bencana agar tidak terjadi kesimpang-siuran penanganan.
-         Precaution (tindakan pencegahan). Tindakan nyata dilakukan setelah kejelasan berita bencana yang mendekat adalah betul membahayakan, antara lain : menutup perkantoran, sekolah dan tempat-tempat umum berkumpulnya massa; membawa generator atau pembangkit tenaga darurat; mengarahkan ke tempat pengungsian yang sudah dipersiapkan keamanannya; membawa peralatan yang terdiri atas peralatan minimal untuk bertahan hidup seperti persediaan air bersih, tenda dan makanan.
Response (reaksi cepat).
Reaksi cepat biasanya dapat dilakukan sesegera mungkin pada saat maupun setelah bencana menghantam. Dengan adanya personel di dalam masyarakat yang sudah terlatih diharapkan masyarakat secara mandiri dapat melakukan penanganan dini sebelum bantuan datang. Tindakan yang diharapkan adalah menyelamatkan hidup korban dan menjaga harta benda yang masih tersisa. Memperbaiki (minimal) kerusakan yang disebabkan oleh bencana, antara lain dapat berupa; pembersihkan area jalan, agar transportasi dari dan ke lokasi bencana tidak terhambat. Menetapkan lokasi pengungsian, agar bantuan logistik dan pelayan kesehatan bisa terpusat sehingga kinerja penanganan pasca gempa bisa efektif.
Recovery (perbaikan).
Proses perbaikan di utamakan kepada kebutuhan dasar masyarakat korban gempa seperti tempat tinggal, sanitasi dan MCK kemudian dilanjutkan dengan perbaikan infrastruktur yang mendukung percepatan pemulihan sektor ekonomi daerah gempa. Perbaikan dan pemulihan ini dilakukan oleh masyarakat dengan pendampingan dari pemerintah dan lembaga yang berkompeten. Dibutuhkan rencana jangka panjang untuk perbaikan dan pemulihan ini, proses ini bisa bervariasi  antara 5-10 tahun, atau bahkan lebih. Bagian ini termasuk aspek-aspek lain seperti restorasi dan rekonstruksi infrastruktur termasuk pendampingan untuk perbaikan mental korban gempa agar seminim mungkin tidak terjadi gejala putus harapan.
Development ( pengembangan).
Pengembangan dan moderninsasi penanganan gempa harus selalu dilakukan untuk mengantisipasi bencana yang tidak bisa ditebak wujudnya. Dengan pengembangan yang terus-menerus maka budaya ‘lupa’ bisa dihindari. Budaya ‘lupa’ adalah ancaman terselubung dari penanganan bencana, dengan melupakan kejadian bencana pada masa lalu maka kita juga melupakan hal-hal yang bisa menyelamatkan hidup dan harta pada saat bencana menghantam. Dibutuhkan pengembangan simulasi-simulasi berbagai macam bencana yang mungkin menghantam negara kita agar kita selalu siap dalam menghadapi efek-efek bencana.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah membuat sebuah departemen khusus yang bertugas untuk mempersiapkan dan mematangkan Manajemen Bencana ini. Agar respon Pemerintah (baik daerah maupun pusat) dalam menghadapi ancaman bencana yang selama ini lambat dapat diperbaiki apabila terdapat kejadian lain di masa depan, tanpa harus mengunggu bantuan dari luar negeri.
                Dengan adanya suatu bencana,,  akan sangat berpengaruh pada keadaan mental seseorang. Adapun  stressor-stressor yang ekstrim termasuk dengan terjadinya bencana, dapat menyebabkan hal-hal dibawah ini :
-          Kematian
-          Injury / luka
-          Kehilangan dari segi financial
-          Gangguan mental
-          Setelah terjadinya bencana, akan ada juga kerusakan infrastrukur yang akan menyebabkan terganggunya aktivitas sehari-hari, dan kerusakan ini akan menjadi pertanyaan banyak orang, akan terjadi sampai kapan?
-          Kehilangan orangtua dan sanak saudara, sehingga membuat korban bencana merasa kesepian dan merupakan factor resiko untuk terjadinya gangguan mental
-          Kehilangan pekerjaan , dll
Adapun fase setelah terjadinya bencana yang dapat menyebabkan terganggunya keadaan mental seseorang adalah :
-          Critical acute
Fase ini terjadi kurang dari 1 bulan setelah terjadinya bencana
-          After critical acte, dan
-          Prolong stressor, biasanya lebih dari waktu 2 tahun setelah terjadinya bencana
Untuk individu yang pernah mengalami trauma, maka akan ada resiko yang dihadapi, diantaranya:
-          Adanya penurunan produktivitas
-          Banyaknya beban pada setiap orang, keluarga, dan komunitas
-          Ada kemungkinan untuk melakukan resiko bunuh diri
                Setelah terjadi bencana, biasanya diadakan evakuasi termasuk adanya ‘pengungsian’, nah dengan adanya pengungsian ini akan terjadi stressor baru apalagi dalam waktu yang cukup lama.
Pada umumnya tim kesehatan yang dikirim untuk para korban bencana kebanyakan lebih mengurusi masalah fisik korban, dan mengabaikan bagaimana sebenarnya untuk menstabilkan keadaan mental para korban setelah terjadi bencana. Hal ini dibuktikan bahwa masih kurangnya tenaga kesehatan mental. Nah dengan adanya hal tersebut, biasanya akan ada recruitment dan TOT untuk para sumber professional dan tenaga kesehatan mental dalam mengatasi gangguan mental/traumatic terkait setelah terjadinya bencana.
Prinsip umum intervensi :
-          Persiapan pre emergency, meliputi :
·         Planning secara detail
·         Koordinasi system dengan sumber local
·         Training
-          Penilaian kondisi local, meliputi aspek cultural dll
-          Adanya kolaborasi
-          Adanya integrasi ke pelayanan dasar, misalnya mengadakan program di puskesmas
-          Pelayanan kesehatan untuk semua
-          Pelatihan kesehatan mental untuk puskesmas dan pemim[in komunitas
-          Long periode perspective
-          Monitoring
Fase kondisi psikososial pada bencana adalah Acute emergency phase.
Adapun yang harus diperhatikan dalam Acute emergency phase adalah:
·         Status emergency
·         Kemanan fisik
·         Informasi untuk menurunkan beban penderitaan
·         Lokasi
Sedangkan untuk kesehatan mental, penanganan utama adalah bertemu dengan ‘primary health center’ untuk:
-          Memanage kasus emergency yang berhubungan dengan psikiatric, contohnya depresi mayor
-          Tersedianya psikofarmaka sebagai terapi awal

Manejemen Post Traumatic Stress Disorders

Berdasar pengamatan, penanganan bencana selama ini hanya terfokus pada respon darurat saja. Gerakan bantuan yang dikoordinasi masyarakat awam pun juga lebih terfokus pada penggalangan bantuan untuk kondisi darurat. Padahal penanganan bencana yang menyeluruh meliputi sebelum terjadi bencana, pada saat terjadi bencana, dan setelah terjadi bencana. Penanganan bencana juga bukan hanya tanggung jawab pemerintah saja, melainkan harus melibatkan peran masyarakat luas. Inilah yang saat ini dikenal sebagai penanganan bencana berbasis masyarakat.
Dalam setiap penanganan bencana, kesehatan merupakan salah satu sektor yang berperan penting. Peran sektor kesehatan tidak hanya dalam fase darurat yaitu memberikan pelayanan kesehatan pada para korban bencana maupun pengungsi, namun semestinya juga berperan dalam fase-fase penanganan bencana yang lain. Yang sering dilupakan dalam penanganan masalah kesehatan terkait bencana adalah berbagai masalah terkait kondisi psikologi dan kesehatan mental para korban. Selain mengalami luka-luka fisik, korban bencana seringkali mengalami post traumatic stress disorder.
Nah sekarang apa itu post traumatic stress disorder ituu?? Biar mempermudah kita singkat aja menjadi PTSD .
PTSD merupakan sindrom kecemasan, labilitas otonomik, ketidakrentanan emosional, dan kilas balik dari pengalaman yang amat pedih itu setelah stress fisik maupun emosi yang melampaui batas ketahanan orang biasa (Kaplan: 1997).
National Institute of Mental Health (NIMH) mendefinisikan PTSD sebagai gangguan berupa kecemasan yang timbul setelah seseorang mengalami peristiwa yang mengancam keselamatan jiwa atau fisiknya. Peristiwa trauma ini bisa berupa serangan kekerasan, bencana alam yang menimpa manusia, kecelakaan atau perang (Anonim: 2005d).
Hikmat (2005) mengatakan PTSD adalah sebuah kondisi yang muncul setelah pengalaman luar biasa yang mencekam, mengerikan dan mengancam jiwa seseorang, misalnya peristiwa bencana alam, kecelakaan hebat, sexual abuse (kekerasan seksual), atau perang.

PTSD memiliki 3 kelompok gejala utama, yaitu:
1.       Re-experience phenomena
2.       Avoidance or numbing reaction
3.       Symptoms of increased arousal

Adapun criteria nya adalah :
1.       Seseorang biasanya mengalami atau dihadapkan pada ancaman yang serius termasuk bencana, kematian, kecelakan luar biasa, ancaman fisik terhadap diri maupun orang lain.
2.       Individu mengalami kondisi ketakutan, tidak berdaya dan selalui dihantui oleh peristiwa tsb. Pada kasus anak sering terjadi perilaku yang disorganized atau agitasi.
Jika kedua kriteria tersebut muncul maka dapat dilakukan pengelompokan gejala kedalam tiga gejala utama tadi.
Re-experience Phenomena
1. Munculnya kembali perasaan tertekan atau terancam baik dalam imajinasi, pikiran ataupun persepsi.
2. Munculnya mimpi-mimpi yang menakutkan.
3. Adanya reaksi psikologis yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
4. Adanya reaksi fisik yang merupakan simbol/ terkait dengan peristiwa trauma.
Avoidance or Numbing Phenomena
1. Menghindari pikiran, perasaan atau pembicaraan yang berkaitan dengan peristiwa traumatic.
2. Menghindari kegiatan, tempat atau orang-orang yang terkait dengan trauma.
3. Ketidakmampuan untuk mengingat aspek penting dari trauma.
4. Berkurangnya minat atau partisipasi dalam kegiatan yang terkait.
5. Kekakuan perasaan atau ketidakmampuan mengekspresikan perasaan seperti kasih sayang.
6. Kehilangan harapan seperti tidak memiliki minat terhadap karir, perkawinan, keluarga atau kehidupan jangka panjang.
Symptoms of Increased Arousal
1. Kesulitan tidur.
2. Kemarahan yang tidak terkendali.
3. Kesulitan konsentrasi.
4. Hypervigilance (sangat siaga)
5. Respon yang berlebihan (exaggerated)

Durasi & Efek
Gejala dapat berlangsung lebih dari satu bulan dan mengganggu kehidupan sosial, pekerjaan atau bidang kehidupan penting lainnya. PTSD dapat muncul bersama gangguan lain seperti kecemasan atau depresi. Disegi lain beberapa klorban tidak memenuhi kriteria PTSD namun sebelumnya memiliki gejala-gejala yang mirip namun terkadang secara alami mereka berangsur pulih
Faktor yg mempengaruhi PTSD :
1. Dimensions of the person
2. Dimensions of the trauma
3. Dimensions of the recovery environment
Dimensions of the person
Hal ini terkait dengan permasalahan kesehatan mental individu sebelumnya, biasa mereka merupakan korban yang utama, kondisi kehidupan sebelumnya, sikap dan keyakinan berkaitan dengan strategi penanganan. Umumnya wanita dan mereka yang berusia setengah baya keatas lebih rentan untuk menderita PTSD.
Dimensions of the trauma
Dimensi ini meliputi lamanya peristiwa tersebut terjadi, apakah ancaman bersifat tunggal atau banyak, dialami sendiri atau melibatkan banyak orang, apakah trauma sering berulang, atau bencana yang terjadi secara berulang.
Dimensions of the recovery environment
Hal ini berkaitan dengan dukungan sosial, stress yang terus menerus, ada tidaknya ritual khusus untuk recovery dan bagaimana sikap masyarakat, kerabat ataupun media terhadap peristiwa yang mereka alami.

PTSD & Trauma
PTSD digambarkan sebagai suatu kelompok simptom namun gagal untuk menjelaskan bagaimana proses trauma dapat terjadi. Ini penting dipahami dalam melakukan terapi. Pengalaman dari sebuah peristiwa traumatik dapat terjadi karena sesuatu yang sangat primitif, global bahkan karena adanya keyakinan positif sebelumnya seperti :
1. Merasa diri tahan banting.
2. Merasa dunia aman, teratur dan dapat diramalkan.
3. Merasa diri sebagai pribadi yang baik.

                Namun, pada saat terjadi bencana mereka mengalami suatu goncangan yang luar biasa. Kebanyakan sikap yang muncul adalah negatif. Orang merasa secara sosial tidak diterima, merasa merepotkan orang lain, memperlihatkan kelemahan atau merasa dirinya gila dan kehilangan kendali.
Jika korban melihat dunia dan lingkungannya sebagai sesuatu yang mengkuatirkan dan tidak dapat diramalkan, tindakan yang disertai perasaan negatif tidak akan berguna dan kemudian seseorang mungkin tidak percaya bahwa kasusnya dapat ditangani.
                Suatu jaringan memori traumatik kemungkinan terbentuk dan disertai oleh imajinasi yang negatif. Bayangan imajinatif tentang suatu subyek yang kemudian mereka nilai secara negatif, hal ini dapat menimbulkan ingatan tentang peristiwa yang tidak mengenakan. Pada kondisi ini terjadi suatu proses rekognisi, dapat bersifat otomatis atau dilakukan secara sadar.
                Pendekatan teori psikologis tentang krisis biasanya akan meramalkan dan memperkirakan tindakan penanganan. Dalam beberapa hal penanganan dihadapkan pada imajinasi yang mengganggu proses psikologi yang efektif. Hal ini dapat berupa ingatan traumatik yang akan menstimuli proses resolusi. Meskipun demikian ada suatu titik transisi pada suatu kondisi kepribadian awal, termasuk cara-cara penanganan yang tradisional. Untuk beberapa hal lainnya tindakan penanganan berkaitan dengan upaya untuk menghindari imajinasi traumatik atau pemicu masalahnya. Saat individu berhasil mengatasi masalahnya dengan cara menghindari imajinasi tersebut. Pendekatan ini sebenarnya memerlukan banyak upaya emosional yang dikerahkan untuk mengatasi hal tersebut.

Intervensi Krisis Paska Trauma
                Studi mengenai intervensi krisis mengarahkan kita untuk menyimpulkan bahwa jika prinsip tersebut dilakukan orang-orang akan dapat kembali berfungsi normal secara cepat dan mengurangi kecenderungan berkembangnya masalah dalam waktu lama.
                Debriefing psikologis adalah suatu alat yang kelihatannya lebih populer. Hal itu bukan berarti akan menghilangkan sama sekali PSTD, tetapi lebih kearah suatu perangkat untuk melakukan recovery. Ini bukan suatu terapi yang bersifat mandiri tetapi suatu model penyelidikan sendiri (heuristic) dimana individu akan mampu untuk membangun suatu rancangan pengalamannya, suatu kejadian yang diperkirakan dan mampu dikendalikan dan pada akhirnya membuat mereka lebih percaya diri. Ini merupakan prosedur kognitif yang lebih memfokuskan pada pikiran daripada memfokuskan pada stimulasi perasaan dan emosi.
                Debriefing umumnya dilakukan dalam kelompok (bisa juga secara individual meskipun tidak sebaik jika dilakukan didalam kelompok), peserta sekitar 15 orang. Waktu ideal pelaksanaan antara 48-72 jam setelah peristiwa traumatik terjadi dan kemudian setelah 3 minggu dilihat apakah masih ada individu yang memerlkukan bantuan secara lebih khusus.
Tujuan debriefing adalah :
1. Merupakan ventilasi impresi, reaksi dan perasaan.
2. Mendorong pengorganisasian kognitif melalui pemahaman yang jernih terhadap peritiwa dan reaksi yang muncul.
3. Mengurangi kesan kekhasan dan abnormalitas reaksi, meningkatkan kesan sesuatu yang normal melalui sharing.
4. Memobilisasi sumber daya didalam dan diluar kelompok , meningkatkan dukungan kelompok, solidaritas dan kohesivitas.
5. Mempersiapkan suatu tindakan yang lebih terkendali dalam merepon peristiwa traumatik yang terjadi.
6. Mengidentifikasi kemungkinan tindakan bantuan profesional lebih lanjut.

Dalam prakteknya debriefing memiliki empat fase identifikasi yaitu :
1. Introduction
2. Narrative
3. Reactions
4. Education
                Introduction merupakan kegiatan untuk mengkomunikasikan agenda yang akan dilakukan dan menetapkan aturan main yang berlaku.
                Narrative adalah menceritakan pengalaman individu kepada anggota kelompok, mengumpulkan fakta-fakta yang terjadi, ini merupakan tahap pertama dari pengorganisasian kognitif.
                Reactions merupakan suatu struktur kronologis yg simpel yg memungkinkan gejala ditransformasikan kedalam bentuk pola umum reaksi baik pikiran maupun emosi. Tahap-tahap reaksi tsb adalah sbb :
1. Reaksi selama insiden terjadi.
2. Reaksi segera setelah peristiwa terjadi.
3. Reaksi awal dari keluarga atau figur yg signifikan.
4. Secara pada hari berikutnya
5. Reaksi pada hari berikutnya dan pada hari-hari tertentu.
Education
                Gambaran reaksi simptom PTSD dapat diperkuat penjelasannya melalui literatur. Ini akan membantu penderita untuk melihat permasalahannya secara lebih jelas dan objektif. Hal ini disertai pula dengan membuat perencanaan kedepan untuk membentuk respon dan penghayatan yang lebih baik. Tindak lanjut biasanya dilakukan dengan struktur yang lebih minim, dilengkapi dengan upaya untuk mencatat recovery dan mengatasi kesulitan yang mungkin muncul.
                Sangat sedikit penelitian mengenai efektivitas debriefing. Beberapa studi menunjukkan tidak ada dampak tertentu, sedangkan beberapa yang lainnya menunjukkan efek yang positif. Untuk itu agar debriefing efektif maka perlu diperhatikan hal-hal sbb :
1. Debriefing harus dilaksanakan sebagai bagian dari program intervensi krisis yang menyeluruh dan harus disertai dengan tindak lanjut.
2. Debriefing harus dilakukan secara cermat dan membutuhkan partisipasi penuh dari anggota kelompok.
3. Harus dipandu oleh ahli yang berpengalaman yang memfokuskan pada aspek kognisi dan edukasi.
4. Jangan dilakukan terlalu awal tetapi paling cepat 48 jam setelah peristiwa terjadi.
5. Dilakukan setidaknya selama 90 menit.
6. Dilihat sebagai suatu bagian dari proses assessment untuk mengidentifikasi individu yang memiliki
resiko tinggi dan perlu penanganan individual yg lebih spesifik.
                Pada situasi dimana peristiwa traumatik terjadi dan ditangani misalnya dengan pertolongan darurat tindakan peredaan stress perlu dilakukan sebagai suatu upaya preventif. Hal ini meliputi penjelasan mengenai efek dan simptom dari trauma dan belajar strategi seperti relaksasi maupun bersikap secara positif.

Terapi terhadap Trauma & PTSD
1.       Non-specific effects :
· Klien memutuskan untuk mengikuti terapi dengan komitmen.
· Kualitas dari relasi terapis ditentukan oleh sikap yang sesuai dan memahami pengalaman klien, adanya rasa percaya, kompeten dan memiliki kepedulian.
2. Menggunakan keterampilan assessment untuk memutuskan tindakan terapi yang tepat.
3. Technique-specific effects :
· Menggunakan eksposure yg panjang (pembukaan/introduksi)
· Menggunakan tehnik restrukturisasi kognitif.
· Menggunakan tehnik training inoculation stress termasuk edukasi.
· Menggunakan tehnik tambahan seperti medication atau Eye Movement Desensitization &
Reprocessing (EMDR). Prosedur terakhir adalah tehnik kognitif untuk melawan memori thd peristiwa traumatik melalui rapid eye movement.

Prolonged Exposure
                Kegiatan ini berupa pengungkapan peristiwa kembali dengan melibatkan korban atau klien dalam beberapa sesi. Mengekspos peristiwanya kembali dengan cara menghindari reaksi yang tidak terkendali. Hal ini dapat dilakukan dalam waktu 8-10 sesi. Eksposur perilaku pada situasi yang menakutkan dapat juga digunakan. Kontra indikasi meliputi penyalahgunaan alkohol/drug dan depresi.         Saat terapi eksposur merupakan pilihan pertama klien yang mengalami re-experiencing (atau menghindarinya) dan ini merupakan isu besar yang dapat mengarahkan perubahan kognitif, namun hal ini bisa jadi bukanlah terapi yang memadai.

Terapi Kognitif
                Selama terapi eksposur berlangsung, terapis harus hadir secara intens untuk menyimak pernyataan dan ekspresi dari korban atau klien terutama terhadap cara berpikir mereka yang menyimpang. Terapis fokus pada pengembangan narasi, pikiran yang bekerja kembali dan penggambaran peristiwa dan reaksi.
                Pada tahap awal treatment kognitif difokuskan pada edukasi, memberikan klien suatu pemahaman akan rentang reaksi dan gejala (suatu kerangka yang menempatkan reaksi mereka); dan memunculkan suatu model untuk memahami reaksi paska trauma (dimana metode treatment dapat dibenarkan). Kondisi ini juga dapat memunculkan alternatif narasi.
                Pikiran dan keyakinan otomatis yang bersifat negatif harus digali secara aktif. Pikiran dan keyakinanl ini perlu domonitor lebih lanjut oleh terapis.
                Selanjutnya perlu dilakukan tehnik training inculation stress dan menggunakan tehnik pertanyaan ala Socrates, alternatif self-statement dan perilaku yang dapat dihasilkan. Hal ini dapat dilatih sebelum terapi sesungguhnya dilaksanakan.
                Terapi kognitif dapat berlangsung dalam kelompok untuk lebih menghemat biaya dan waktu. Delapan jam terapi (4 sesi atau lebih) lebih efektif, tetapi terapi yang lebih lama dapat saja dilakukan jika memang dibutuhkan.
                Tehnik yang lebih spesifik seperti EMDR dapat pula digunakan. Drugs dalam kondisi darurat dapat digunakan untuk menjaga individu tetap tenang, seperti blockers yang bermanfaat untuk fase awal. Dapat pula digunakan anti-depresan untuk membantu mengatasi munculnya reaksi negatif.

Coda-Counselling & Post-Traumatic Stress
                Jika pendekatan debriefing dilakukan disesi awal, konseling apapun dalam post-traumatic stress seharusnya meliputi kegiatan sebagai berikut :
1. Mereview detail peristiwa, mengkonstruksi eksposur yang tepat untuk ditunjukkan.
2. Edukasi
3. Menggunakan tehnik kognitif untuk merestrukturisasi kekeliruan keyakinan dan proses berpikir.
                Untuk menjalankan seluruh kegiatan diatas harus dilakukan oleh seorang ahli yang memiliki latar belakang psikologi atau minimal mereka yang telah dibekali oleh orang-orang yang berkompeten.
Penanganan korban paska bencana sebaiknya tidak hanya terbatas pada pertolongan medis yang memang secara fisik sangat terlihat. Disamping upaya medis diperlukan pula penangan secara sosial, kultural, spiritual dan tentunya pendekatan psikologis yang utamanya memfokuskan penanganan terhadap Post Traumatic Stress Disorder (PTSD).

Senin, 14 Februari 2011

Sistem Pembiayaan dan Standar Pelayanan Kesehatan


Mengapa perlu adanya studi pembiayaan kesehatan? Dimulai dari pertentangan akan kesehatan itu barang public atau kesehatan. Dimana kebutuhannya besar tapi penyedia jasa layanannya  terbatas. Kesehatan merupakan investasi di masa depan dan mempengaruhi perekonomian. Misal kepala keluarga yang sakit, maka perekonomian keluarga akan rusak.
Kesehatan merupakan barang mahal yang terbatas dengan dana yang terbatas. Maka dari itu diperlukan kombinasi dari berbagai macam sumber dana.
Sumber dana kesehatan biasanya berasal dari pemerintah atau swasta.
}  Pemerintah:
       Dana Pemerintah Pusat
       Dana Pemerintah Propinsi
       Dana Pemerintah Kabupaten Kota
       Saham Pemerintah dalan BUMN
       Premi bagi jaminan kesehatan masyar akat miskin, yang dibayarkan oleh pemerintah
}  Swasta dan Masyarakat
       CSR (Corporate Social Responsibility)
       Pengeluaran Rumah Tangga, baik yang dibayarkan tunai atau melalui sistem Asuransi
       Bantuan dari Luar Negeri
       Hibah dan Donor dari LSM
Mulai dari sumber dana yang berasal dari pemerintah/swasta kemudian dikelola oleh agen pembiayaan. Baru kemudian digunakan oleh provider kesehatan untuk dilaksanakan sesuai dengan fungsi kesehatanannya.
Ada lagi sumber pendanaan kesehatan berdasarkan ideology suatu Negara.
a.       Sosialis dan welfare state : dibiayai penuh oleh pemerintah, not for profit, dan untuk publik
b.      Liberalis-kapitalis : harga diserahkan pada mekanisme pasar, profit oriented dan fully private
c.       Kombinasi : kombinasi keduanya, system asuransi social dan public private mixed
Alas an kita harus mempelajari manajemen pembiayaan kesehatan :
a.       Karena input sumber daya yang terbatas dihadapkan dengan kebutuhan yang tidak terbatas.
b.      Proses manajemen akan mengefisiensi penggunaan sumber daya dan pemilihan program kesehatan akan efektif
c.       Sehingga outcome dan output akan menciptakan budgeting policy and Health Financing System serta status derajat kesehatan.
   
       DRG’s (Diagnosis Related Group) atau sistem pembiayaan kelompok diagnosa terkait adalah suatu sistem/cara pembayaran kepada penyelenggara pelayanan kesehatan (health provider) untuk pelayanan yang diselenggarakannya tanpa memperhatikan jumlah tindakan atau pelayanan yang diberikan, melainkan pengelompokan pelayanan medis kedalam suatu besaran pembiayaan menurut kelompok penyakit dimana pasien yang sedang ditangani tersebut berada.
                Manfaat DRG’s adalah sistem dan beban administrasi pihak penanggung biaya dan provider lebih sederhana, tidak perlu lagi secara rinci memperhitungkan biaya pelayanan, pelayanan menjadi lebih efektif dan efisien karena mampu mengendalikan biaya pelayanan kesehatan, DRG’s dapat memberikan kepastian biaya rumah sakit dan meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit. DRG’s dapat mengurangi: biaya rumah sakit, intensitas pelayanan yang diberikan, lama hari rawat, dan menghasilkan produk yang efisien.
                DRG’s pertama kali dikenal di Amerika serikat, diterapkan di Rumah sakit Negara bagian New Jersey pada tahun 1970 sebagai dasar perhitungan biaya rawat inap oleh rumah sakit dan asuransi. DRG telah dipakai sejak tahun 1983 untuk menentukan seberapa besar medicare membayar kepada rumah sakit.
                Pengelompokkan DRG’s saat ini di dasarkan pada ICD X, ICD X adalah suatu system kategori yang mengelompokan satuan penyakit menurut kriteria yang telah disepakati. Tujuan pemakaian ICD untuk membuat catatan sistematik dan dapat dianalisis, untuk menterjemahkan diagnosa penyakit dan masalah kesehatan dari kata-kata menjadi kode/sandi alfanumerik sehingga mudah disimpan, dicari, dianalisis. Ciri ICD X koding alfanumerik, 1 huruf diikuti 3 angka untuk tingkatan 4 karakter.
                Sejak tahun 1981 berkembang generasi kedua berdasarkan ICD 9 CM yang terdiri dari 23 MDC (Major Diagnostic Categories) dengan 467 DRG’s. Dalam perkembangan selanjutnya pada bulan April 1994 muncul Australian National DRG’s dengan 23 MDC dan 956 DRG’s. Pada tahun 1995 Australia mengumumkan perubahan DRG’s yang mengacu kepada ICD X, yaitu AR DRG versi 4.1 dengan 20 perubahan kode klinik dan klasifikasi keompok pada beberapa MDC Tahun 1998 Australian Refined DRG ( AR-DRG) clasification versi 4.1 dengan 23 MDC dan 661 DRG’s oleh commonwealth departemen of health dan aged care of Australia.
                Komponen-komponen biaya dalam menyusun DRG’s adalah lama hari rawat inap untuk masing-masing DRG’s baik untuk perawatan rutin dan khusus, biaya perdiem baik untuk perawatan rutin maupun khusus, perkiraan biaya, pelayanan-pelayanan pendukung (laboratorium, radiologi, obat-obatan, alat habis pakai, anastesi, dan pelayanan lainnya perkasus). Data yang dipakai adalah diagnosa DRG’s dibuat keadaan saat pasien keluar RS.
                Dalam menentukan DRG’s langkah-langkah yang dilakukan adalah menegakan diagnosa utama (lihat medical record) dan tentukan MDC berdasarkan diagnosa utama oleh dokter atau bidan,berdasakan ICD X ada saat pasien pulang, lihat tindakan yang dilakukan, dan evaluasi apakah dilakukan tindakan yang signifikan (operasi atau tindakan medis), umur pasien, Diagnosa sekunder (bila ada), Lama hari rawat, utilisasi (identifikasi kelas perawatan, tindakan medis, pemeriksaan penunjang, obat-obatan, alkes, dan jasa medis paramedik).
                Sebelum menentukan DRG harus ditetapkan clinicval pathway yang merupakan cikal bakal costing atau casemix, yaitu: Identifikasi intervensi/aktivitas berdasarkan Standard Operating Procedure/Clinical Guidelines, baik sifat maupun jumlah pemakaian resources-nya mulai dari penerimaan sampai pasien pulang. Clinical pathway adalah konsep perencanaan pelayanan terpadu yang merangkum setiap langkah yang diberikan kepada pasien berdasarkan standar pelayanan medis, standar asuhan keperawatan dan standar pelayanan tenaga kesehatan lainnya, yang berbasis bukti dengan hasil yang dapat diukur dan dalam jangka waktu tertentu selama di rumah sakit clinical pathway merupakan rencana multidisiplin yang memerlukan praktik kolaborasi dengan pendekatan team, melalui kegiatan day to day, berfokus pada pasien dengan kegiatan yang sistematik memasukan standar outcome.
                Kasus yang diutamakan untuk clinical pathway adalah kasus yang sering ditemui, kasus yang terbanyak, biaya tinggi, perjalanan penyakit dan hasilnya dapat diperkirakan. Untuk membuat clinical pathway telah tersedia Standar Pelayanan Medis dan Standar Prosedur Operasional.

Standar Pelayanan Medik dan DRG
                Melalui Surat Keputusan Menkes No.595/Menkes/SK/VII/1993 telah ditetapkan bahwa setiap sarana pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan medis harus sesuai dengan kebutuhan dan standar pelayanan yang berlaku. Dengan adanya standar medik ini diharapkan seluruh rumah sakit pemerintah maupun swasta dari semua tingkatan kelas harus dapat menerapkan standar ini agar rumah sakit tersebut dapat menjaga mutu dan menghasilkan pelayanan yang efektif dan efisien. Berkaitan juga dengan upaya pemerintah untuk menerapkan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM) sesuai dengan UU Kesehatan nomor 23 thn 1992 pasal 66, standar pelayanan medis sudah menjadi keharusan untuk ditetapkan dan diterapkan di seluruh rumah sakit. Hal ini sebagai antisipasi terhadap berlakunya Undang-Undang Kesehatan No.23 tahun 1992, pasal 32 ayat 4, Standar pelayanan medik telah ditetapkan berdasarkan SK Menkes, yang merupakan tonggak utama dalam upaya peningkatan mutu pelayanan medik di Indonesia. Standar ini mengatur tentang penatalaksanaan penderita di rumah sakit agar pelayanan yang diberikan kepada masyarakat memenuhi mutu yang dapat dipertanggungjawabkan.
                Masalah mutu pelayanan akhir-akhir ini semakin sering menjadi sorotan, dan sebagian besar dokter pasti sudah berusaha untuk melakukan hal yang terbaik untuk pasien, tetapi selama ini belum ada standar yang dijadikan pedoman untuk dokter maupun penerima jasa pelayanan dalam menilai mutu layanan. Standar pelayanan medik juga dapat menjadi pengukur efisiensi penggunaan sumber daya, baik tenaga, ilmu dan teknologi, sarana dan biaya untuk menyembuhkan pasien dari penyakitnya.
                Penerapan standar pelayanan medik harus dilakukan bertahap, mengingat kondisi dan kapasitas kemampuan rumah sakit bervariasi bila ditinjau dari segi fisik konstruksi, peralatan, sumber daya manusia, pembiayaan dan sejarah perkembangan.
                Standar pelayanan medis disusun oleh ikatan Dokter Indonesia sebagai satu-satunya organisasi profesi di Indonesia yang mendapatkan masukan dari perkumpulan dokter seminat, yang bekerja sama dengan Departemen Kesehatan. Kandungan standar pelayanan medis terdiri dari standar penatalaksanaan 100 jenis penyakit dari 12 spesialis dan standar pelayanan penunjang dari 3 spesialis.
                Standar yang telah disusun tidak mencakup semua diagnosis penyakit yang diketahui ilmu kedokternnya, tetapi dipilih berdasarkan Kessner, dalam tulisannya di New England Journal of Medicine tahun 1973, tentang petunjuk dalam memilih diagnosis yang perlu disususun standarnya, yaitu:
1. Penyakit tersebut mempunyai dampak fungsional yang besar,
2. Merupakan penyakit yang jelas batas-batasnya, dan relatif mudah untuK
mendiagnosisnya,
3. Prevalensinya cukup tinggi dalam praktek,
4. perjalanan penyakitnya dapat secara nyata dipengaruhi oleh tindakan medis yang
ada,
5. Pengelolaannya dapat ditetapkan dengan jelas,
6. Faktor non-medis yang mempengaruhinya sudah diketahui.
                Standar pelayanan medik itu kurang lengkap dan tidak spesifik terhadap kepastian obat-obatan, alat kesehatan, bahan habis pakai yang digunakan, dan belum sesuai dengan Case Studi: Kebijakan Standar Pelayanan Medik dan DRG ICD X, sehingga sulit menerapkan bahan tersebut sebagai masukan dalam pembuatan DRG.
                Penyusunan standar pelayanan medis juga tidak berdasarkan clinical pathway, sehingga sulit untuk menjadikannya sebagai dasar penyusunan DRG. Tetapi karena belum ada standar pelayanan medik yang lebih rinci yang diterbitkan oleh perkumpulan dokter spesialis tertentu maka dalam penyusunan DRG, standar pelayanan medis dapat dijadikan dasar bagi penatalaksanaan pasien, organisasi profesi harus mengembangkan standar berdasarkan clinical pathway, dan unit cost sehingga dapat diketahui tarif untuk setiap pengelompokan diagnosa dan tindakan medis.
                Rumah sakit di Indonesia juga belum seluruhnya telah melakukan perhitungan unit cost per diagnosa penyakit. Yang banyak dilakukan adalah menghitung unit cost untuk sebuah tindakan medis, menentukan tarif, semua itu belum semua dicatat dengan baik oleh rumah sakit. Kelemahan data inilah menjadi salah satu kendala dalam perhitungan unit cost. Semua rumah sakit sudah harus mulai menyesuaikan dan melakukan rencana jangka pendek, menengah dan panjang dalam penerapan standar pelayanan medik ini, terutama bila akan menerapkan Diagnostic Related Group dalam sistem pembayaran.
                Di Indonesia terdapat beberapa faktor yang menyebabkan perlunya DRG antara lain,
yaitu:
·         Tingginya biaya pelayanan kesehatan karena belum adanya standar biaya.
·         Belum terdapat tata cara pengelompokkan penyakit berdasarkan biaya.
·         Belum terdapat cara perhitungan biaya pelayanan kesehatan berdasarkan pengelompokan diagnosis.
                Pembayaran pra-upaya yang dilakukan PT Askes ialah sistem DRG, walaupun masih terbatas untuk hemodialisa, operasi jantung terbuka, dan transplantasi ginjal. Awalnya DRG merupakan sistem untuk membantu manajemen dalam mengukur dan mengevaluasi kinerja rumah sakit. Tetapi karena kemajuan teknologi kedokteran dan peningkatan biaya pelayanan kesehatan maka untuk pengendalian biaya (cost containment) dipakai sistem DRG yang sangat berbeda dengan sistem sebelumnya. Dahulu fokus utama pelayanan RS pada final product RS yang merupakan kumpulan biaya alat kesehatan, obat,laboratorium, dan biaya yang diterima pasien dengan penyakit tertentu. Hal ini berbeda dengan DRG yang biaya pelayanan itu hanya terbatas pada pelayanan yang diterima saja dan tidak melihat jenis penyakitnya.

Standar Pelayanan Minimal Dan DRG
                Berdasarkan keputusan Menkes dan Menkessos No.228/Menkes/SK/III/2002, tentang Standar Pelayanan Minimal, maka di Indonesia sudah ada SPM untuk pelayanan kesehatan masyarakat, yang mirip dengan indikator pencapaian progam kesehatan masyarakat. SPM kesmas ini wajib dilaksanakan di setiap daerah NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).
                Sangat disayangkan, SPM dalam bidang pelayanan kesehatan, khususnya teknis medis belum
ada di Indonesia. SPM khusus pelayanan medis seyogyanya disusun oleh organisasi profesi atau kolegium seperti IDI,PDGI, IDAI, POGI, dan organisasi profesi lainnya, tetapi di Indonesia standar pelayanan minimal belum dibuat.
                Dalam rangka perubahan bentuk hukum rumah sakit di Indonesia dari swadana menjadi Badan Layanan Umum (BLU), yang terdapat persyaratan administrasi harus menyusun standar pelayanan minimal, kemudian bila setiap daerah mempunyai SPM masingmasing, maka bila dikaitkan dengan DRG yang sama dan seragam untuk seluruh Indonesia akan sulit dilakukan.
                Pihak terkait yang mempunyai otoritas yang paling tinggi dalam membuat kebijakan, dalam hal ini Departemen Kesehatan seharusnya sudah mengantisipasi, dan dapat membaca tren perumahsakitan di dunia atau Indonesia, bahwa beberapa propinsi di Indonesia akan menerapkan unit pelaksana teknis daerah, seperti rumah sakit umum daerah menjadi BLU. Penyusunan SPM bidang medis hendaknya sudah dilakukan oleh kolegium dengan himbauan dan pengawasan dari depkes.

DRG Reformasi Mikroekonomi di Industri Layanan Kesehatan
                Rumah sakit menghadapi masalah peningkatan biaya operasional, terbatasnya sumber daya, tuntutan peningkatan pelayanan kesehatan, resiko kesalahan medis (medical error). DRG merupakan sistem pembayaran yang lebih advance yang direkomendasi setelah studi costing yang dilakukan di rumah sakit.
                Untuk mengatasi masalah pembiayaan kesehatan yang semakin meningkat, DRG dapat menyediakan informasi yang akurat tentang biaya kesehatan yang dibutuhkan per penyakit sejenis (per unit cost) dan perbandingan di antara layanan yang diberikan, baik di tingkat lokal maupun internasional.
                Dalam aspek pembiayaan DRG dapat digunakan sebagai basis dalam persamaan persepsi, alat ukur dalam penetapan kerjasama biaya pelayanan kesehatan dengan pihak ketiga (health insurance publik/private), dan petunjuk dalam sistem pembiayaan yang baru disektor industry layanan kesehatan.
                Ditinjau dari segi pemeliharaan kesehatan, DRG dapat dipakai sebagai alat ukur dari hospital output, basis dalam negosiasi biaya dengan pasien dan pihak ketiga, serta dapat dipergunakan untuk membandingkan biaya yang harus dibayar dengan tindakan medis yang diberikan.
                Khusus dalam bidang mutu pelayanan kesehatan, DRG dapat membantu meningkatkan mutu melalui penyediaan informasi tentang jenis perawatan yang diberikan kepada pasien, data perbandingan rerata lama hari rawat per penyakit sejenis, dan struktur biaya pelayanan kesehatan dari berbagai jenis perawatan per pasien dengan diagnosis sejenis bagi para tenaga medis/penyedia pelayanan kesehatan.

Kesiapan Indonesia Menerapkan Sistem DRG
                Departemen Kesehatan (Depkes) melakukan uji coba Diagnostic Related Group (DRG) di 15 rumah sakit pemerintah/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Depkes mulai tahun 2006. Uji coba itu dilaksanakan bekerja sama dengan Universitas Kebangsaan Malaysia. Bila uji coba ini berhasil, maka sistem DRG akan dilaksanakan di seluruh rumah sakit pemerintah, baik pusat maupun daerah. Di berbagai negara yang sudah melaksanakan system ini, sudah terbukti DRG menekan biaya pengobatan.      Di berbagai negara sistem DRG meningkatkan efisiensi. Dengan sistem ini biaya pengobatan bisa ditekan sampai 40 persen. Sedangkan pengalaman di Malaysia, ujarnya, penerapan DRG di rumah sakit pemerintah bisa menghemat biaya pengobatan berkisar 15 persen sampai 20 persen. Efisiensi terjadi karena biaya pengobatan berdasarkan standar prosedur sehingga tindakan medis yang dilakukan tidak berlebihan.
                Bila DRG diterapkan ada beberapa hal yang harus dibenahi, antara lain perlu dipastikan adalah apakah jasa medik dokter yang notabene termasuk komponen biaya yang besar harus dimasukan dalam DRG, mengingat di setiap rumah sakit jasa medis dokter berbeda-beda, belum lagi antar rumah sakit pemerintah dan swasta. Di Indonesia terdapat kesepakatan yang sudah mendarah daging bahwa besarnya jasa medis mengikuti tingkatan jenis kamar perawatan yang dipilih pasien. Tentu ini merupakan suatu keanehan, karena bukankah untuk sebuah tindakan medis yang dilakukan oleh dokter untuk pasien di kelas VIP dan kelas III adalah sama, keharusan meng-visite pasien setiap hari juga sudah menjadi duty of care dari seorang dokter, sehingga seharusnya jasa medis untuk sebuah tindakan medis
tertentu harus sama, dalam DRG harus ditetapkan komponen apa saja yang termasuk tarif dari sebuah diagnosa penyakit. DRG harus sama, tarif rumah sakit hanya berbeda untuk jenis kamar perawatan yang dipilih, masuk akal karena tentu saja kenyamanan, fasilitas ruangan yang lebih lengkap, jam besuk yang fleksibel, dan dapat bebas memilih dokter sesuai keinginan.
                Sekarang sedang dirintis sistem DRG (Diagnostic Related Group) yaitu suatu pola pentarifan yang dikaitkan dengan pengelompokan jenis penyakit dengan segala tindakannya. Dengan sistem ini, tarif rumah sakit akan terstandarisasi. Walaupun diakui pasti ada perbedaan tarif antara daerah-daerah dengan rumah sakit pusat rujukan, tetapi sistemnya sudah terstandar.
                Paling tidak perubahan biaya (tarif rumah sakit) disebabkan inflasi selama ini PT Askes berkejar-kejaran dalam besar tarif. Akibatnya, ada tarif rumah sakit yang lebih tinggi dari tariff PT Askes, dan sebaliknya ada tarif PT Askes yang lebih tinggi dari tarif rumah sakit, dengan DRG akan lebih mudah kenyataannya walaupun tarif rumah sakit peserta PT Askes ditetapkan dengan SK Menteri Kesehatan sebagai plafon, PT Askes masih harus membicarakan tariff dengan pihak rumah sakit. Sekarang ini tarif yang dibayar seolah-olah bukan tarif yang riil.
                Menurut Menkes RI pada acara yang sama, untuk menanggulangi keterbatasan biaya di rumah sakit, kata Menkes, PT Askes yang ditunjuk sebagai penyelenggara program jaminan pemeliharaan kesehatan bagi masyarakat miskin, telah memberikan uang muka kepada tiap-tiap rumah sakit yang mempunyai ikatan kerja sama dengan PT Askes.
                Rumah sakit di Indonesia juga belum seluruhnya telah melakukan perhitungan unit cost per diagnosa penyakit. Yang banyak dilakukan adalah menghitung unit cost untuk sebuah tinadakan medis, menentukan tarif, semua itu belum semua dicatat dengan baik oleh rumah sakit. Kelemahan data inilah menjadi salah satu kendala dalam perhitungan unit cost.